Tradisi Buruk Kelulusan SMA Sederajat

Thursday, June 2, 2016

  • Nama:
    Musyripun (3101 1102 1947)
  • Judul:
    Tradisi Buruk Kelulusan SMA Sederajat

Tradisi Buruk Kelulusan SMA Sederajat


LULUS adalah sebuah kata yang bermakna besar dan sangat berarti bagi semua peserta didik di negeri ini karena dianggap sebagai momen yang dinanti-nantikan sekaligus mengelisahkan dan menegangkan. Alangkah bahagia yang luar biasa atau tiada taranya untuk meluapkan rasa apresiasi itu bagi seorang peserta didik tatkala memeroleh kata-kata “lulus” di ujung namanya saat berita kelulusan itu dikeluarkan atau diumumkan oleh pihak sekolah mereka.

Kelulusan itu dapat dikatakan sebagai nikmat dan keberuntungan bagi peserta didik setelah menempuh Ujian Nasional (UN) dari akhir sebuah perjuangan panjang. Sesuai bunyi hadist Alquran, “Man Jadda Wa Jadda” artinya barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan dapat balasan yang setimpal yaitu kesuksesan. Selanjutnya, pemerolehan kesuksesan atau kelulusan tersebut merupakan hasil jerih payah atau kegigihan yang sudah dilakukan secara maksimal, baik selama enam tahun di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) maupun tiga tahun di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Kejuruan dan Madrasah Aliyah. Sebenarnya, kini UN bukan lagi satu-satunya untuk mengambil keputusan kelulusan tetapi kelulusan dapat ditentukan dari gabungan nilai UN dan UAS pada rapor mulai semester pertama hingga akhir di sekolah masing-masing. Jadi, maksud dari semuanya itu bahwa UN sangat menentukan atau berpengaruh bagi seorang peserta didik untuk menentukan ia berhak lanjut atau tidak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Menjelang pengumuman kelulusan sekolah itu, suasana menjadi tegang, membuat peserta didik nervous. Hal tersebut dikarenakan begitu banyak bayangan para peserta didik jika mereka tidak lulus. Tentunya akan merasa stock dan berpikir bahwa masa depannya akan hancur sehingga cita-cita mereka tidak akan tercapai. Sudah pasti akan mengecewakan kedua orangtua mereka yang selama ini mengharapkan supaya anaknya sukses dalam mengenyam pendidikan.

Begitu banyak respon setiap peserta didik saat melihat nomornya. Tentunya bagi yang lulus, pasti sangat senang dan mersa lega karena terlepas dari bayangan buruk terhadap dirinya. Namun, bagi peserta didik yang melihat bahwa dirinya tidak lulus , tentunya merasa shock. Bahkan, ada yang jatuh pingsan, menangis histeris karena tidak sanggup menerima keadaan maka akan merasa depresi. Memang banyak dampak yang diakibatkan lantaran kelulusan itu. Bagi peserta didik yang dinyatakan lulus tentunya mereka merayakannya dengan berbagai macam cara. Namun, pada umumnya banyak di antara mereka yang melakukannya dengan cara perilaku yang menyimpang.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena kelulusan itu, disambut dengan berbagai hal ekspresi, baik ekspresi positif ataupun negatif. Akan tetapi, kelulusan di seantero Indonesia lebih banyak dirayakan dengan hal-hal yang bernuansa negatif atau menyimpang. Dari pihak sekolah, pada umumnya, tak bisa berkutik banyak menanggulangi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didiknya. Makanya, perilaku menyimpang tersebut semakin merajalela di kehidupan kini. Contoh dari adanya perubahan globalisasi bagi generasi muda, yakni budaya konvoi dan coret-mencoret seragam.

Menurut Robert M. Z Lawang (2011), perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial. Sedangkan, istilah “pasca” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesudah/ bakda. Dari definisi itu, kita dapat postulatkan bahwa menyikapi budaya menyimpang pelajar (baca: peserta didik) sesudah kelulusan bermakna bahwa menindaklanjuti ataupun mengambil tindakan pembenaran atas perilaku tersebut yang tidak sesuai lagi dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat setelah menerima hasil akhir kelulusan.

Budaya menyimpang pelajar (baca: peserta didik) pasca kelulusan merupakan suatu kebiasaan penyimpangan yang bersifat negatif, yaitu pelaku bertindak mengikuti nilai-nilai sosial yang dianggap rendah dan berakibat buruk serta menganggu kenyamanan sosial. Biasanya, pelaku akan ditegur, baik secara langsung maupun tak langsung oleh masyarakat. Tindakan yang kerapkali kita temui sebagai hasil dari kebudayaan menyimpang pelajar (baca: peserta didik) pasca kelulusan, seperti mencoret-coret seragam sekolah dan berkonvoi. Aktivitas itu malah mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan.

Ujian Nasional (UN) memang baru saja berakhir. Tiga menegangkan tersebut merupakan titik puncak, di mana hal-hal yang telah diperjuangkan oleh generasi penerus kemerdekaan bangsa selama tiga tahun diuji oleh secarik kertas yang berpaparkan persoalan-persoalan yang cukup rumit. Rumit bagi mereka yang mungkin sudah tertutup pintu hatinya untuk membuka cakrawala mereka. Barangkali mereka tak menyadari bahwasanya masa depan yang panjang masih menunggu. Bukan pendidikan yang utama, namun kepuasan jiwa masing-masing yang membuat mereka terlena.
Namun bagaimana pun, setiap mereka pasti melewati titik ini. Tak sedikit juga yang benar-benar, yang sungguh-sungguh untuk menggapai kunci untuk membuka pintu-pintu yang masih tertutup di depan mereka. Semua sebenarnya bergantung apa yang mereka tanamkan di hati dan pikiran mereka. Apabila yang mereka hadapi adalah hal yang harus diselesaikan sebagai sebuah tantangan, maka aura positif akan membakar semangat mereka. Tetapi, apabila mereka berpikir, mereka tak sanggup untuk melewatinya maka mereka akan menghindar.

Ironis, ketidaksungguhan itu menjerumuskan mereka pada hal yang negatif. Bukannya membuka lembaran-lembaran soal ataupun mengulas kembali materi yang akan diujukan. Namun, secarik kertas kecil yang membantu mereka melewati persoalan-persoalan itu. Itulah salah satu bukti nyata bahwa moral dan perilaku negatif telah tertanam di diri anak-anak muda sekarang. Walaupun tak jarang yang sukses karena menyungguhi apa yang dijalani, namun ironi tetaplah ironi.

Kita sudah mengetahui sendiri apa yang dilakukan oleh peserta didik atau para pelajar di zaman kini tatkala menghadapi ujian. Ini menunjukkan bahwa semangat belajat di kalangan muda belum tersebar secara menglobal. Tak hanya saat seperti ketika sesaat setelah kelulusan. Mereka meluapkan kegembiraan dengan ugal-ugalan atau konvoi tak tentu arah di jalan raya.
Seperti yang kita ketahui, banyak hal yang dapat meluapkan kegembiraan seseorang. Apalagi di kalangan anak muda, di mana sesosok sedang mencari jati dirinya. Pasti sangat banyak hal-hal irasional yang dilakukannya. Bukan apa-apa, seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kepuasaan jiwa masing-masing yang membuat mereka terlena.

Hal yang sudah akrab di mata dan ingatan kita bahwa cat pilox dan anak-anak remaja, khususnya para pelajar atau peserta didik sudah seperti memiliki ikatan. Entah apa maksudnya, sebuah kertas berlabel lulus dari dinas pendidikan menarik jari-jari mereka untuk menyemprotkan cat pilox pada kain yang telah mereka gunakan selama tiga tahun, yang memberi mereka identitas sebagai pelajar yang akan meneruskan kemerdekaan bangsa ini.

Coretan kelulusan, mungkin itu salah satu bentuk apresiasi mereka terhadap keberhasilan melewati kertas-kertas yang menguji mereka salah jari untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Namun, ini merupakan satu dari contoh negatif para pelajar kita pasca kelulusan. Foya-foya ini sebenarnya bukanlah hal yang mempunyai hal positif sedikitpun. Tak ada hal yang dapat dipelajari darinya.

Bukan hanya pilox yang terbuang percuma, goresan-goresan ban di aspal jalan juga menjadi saksi bisu dan sisa-sisa pesta pora mereka di jalan raya. Lagi-lagi hal negatif. Mereka tak akan tahu sampai kapan sepeda motor yang mereka kendarai dapat menyelamatkan diri mereka. Siapa tahu di tengah jalan, ketika mereka tengah mengendarai sepeda motor mereka dengan kecepatan tinggi, sepeda motor yang mereka kendarai lepas kendali dan menyebabkan kecelakaan.

Budaya konvoi atau ugal-ugalan merupakan kebiasaan yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di setiap sekolah. Konvoi menjadi ajang pamer kegembiraan ketika peserta didik telah tahu dirinya lulus. Ajang pamer ini, berlangsung di jalan raya yang penuh sesak. Biasanya, peserta didik atau pelajar melakukannya dengan berjalan atau berkendara berombongan berkeliling di penjuru kota menyusuri jalan-jalan. Kebiasaan konvoi ini terkadang sambil mencoret baju mereka bahkan menyemprot rambut dan jilbab mereka juga menggunakan spidol dan piloks. Mereka tak menyadari bahwa dibalik konvoi tersebut mengintai kecelakaan lalu lintas. Inilah yang disayangkan andai kegembiraan beralih menjadi kesedihan. Selain itu, mengakibatkan kerugian orang lain yaitu membuat macet lalu lintas bahkan memancing bentrok antarpengguna jalan. Jika ini terjadi, maka tak terelakkan lagi timbul perkelahian, yang bisa dikatakan sebagai anarkisme atau premanisme jalanan. Jadi, konvoi itu apa sih manfaatnya? Ternyata, jawabannya tidak ada gunanya semua itu. Di sinilah betapa pentingnya memberikan nasihat tentang keselamatan dan masa depan kepada mereka.

Mencoret seragam sekolah dijadikan oleh para pelajar atau peserta didik sebagai media meluapkan seluruh emosi dan mengutamakan rasa kesenangan semata atas apa yang telah mereka usahakan selama mengikuti proses belajar. Namun, tren mencoret seragam adalah perilaku menyimpang yang merugikan akibat tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Sebagai peserta didik atau pelajar yang berpendidikan, seharusnya mencoret seragam tidak perlu diadakan. Oleh karena tidak adanya arahan dan sanksi untuk pelajar/ peserta didik yang melakukan hal ini adalah salah satu alasan mengapa mencoret seragam seusai kelulusan sekolah masih terus terjadi. Memang tidak mudah menerapkannya, di samping usia remaja adalah usia labil dan suka melakukan hal-hal baru. Maka harus ada upaya-upaya yang serius dan menjalin kerjasama antarsekolah agar perilaku menyimpang ini tidak terulang lagi. Padahal bekas baju seragam itu, lebih baik disumbangkan. Daripada dicoret-coret lebih bagus sekolah tersebut disimpan untuk adiknya nanti atau disumbangkan ke panti asuhan. Itu lebih baik.

Jika kita dapat berkaca dari setiap kejadian yang sudah berlalu, kita dapat mengubah kebiasaan buruk yang telah menjadi tradisi di negeri ini. Tidakkah hal tersebut membawa hal imej buruk bagi generasi mendatang? Bahkan beberapa waktu yang lampau, perayaan pasca kelulusan yang berlebihan (over) dilakukan oleh para pelajar atau peserta didik di Ibu kota negara, yaitu pool party yang membuat beberapa pihak geger akan hal tersebut dan pemerintah kalangkabut dibuatnya untuk mengatasi masalah itu. Jika kita berkaca dari pengalaman tersebut, pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki andil mesti menunjukkan sikap dan tindakannya secepat mungkin. Lalu, prolematika ini harus diminimalisir agar tidak terjadi berulang ke depannya.

Namun, semua itu tidak hanya kesalahan yang dilimpahkan kepada peserta didik saja. Orangtua, pemerintah, guru, dan aparat keamanan juga seharusnya berpartisipasi untuk membina insan-insan masa depan bangsa kita tersebut.

Orangtua. Perannya amat penting dalam memantau gerak-gerik anak-anak mereka di rumah maupun di luar rumah. Tampak kini hubungan itu, antara anak dengan orangtua, terasa kaku dan renggang lantaran kesibukan masing-masing orangtua mereka. Akibatnya, orangtua tidak dapat memahami dengan baik bagaimana perasaan seorang anak yang jarang-jarangnya mendapat perhatian orangtuanya.

Selanjutnya, pemerintah, semestinya lebih tegas dalam menyikapi hal ini. Jikalau tak diperhatikan maka peserta didik tersebut akan terus berlanjut kelakuan nakalnya. Untuk itu, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang tegas, seperti tidak boleh ugal-ugalan, coret-coretan seragam sekolah, dan kriminalitas pasca kelulusan.

Kemudian adalah guru. Guru dianggap sebagai orangtua peserta didik di sekolah. Seyogyanya, guru juga ikut serta dalam membina peserta didik dalam mengarahkan, memotivasi, dan menjadi suriteladan. Terakhir yaitu aparat keamanan, polisi. Mereka ini tidak kalah pentingnya dalam hal ini, untuk turut andil untuk lebih giat lagi dalam membina para peserta didik. Misalnya, melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah dalam memberikan sosialisasi tata tertib di jalan raya.

Lantas, bagaimanakah strategi atau solusi yang ditempuh untuk mengatasi atau menyikapi pelampiasan tindakan negatif atau menyimpang yang dilakukan oleh peserta didik pasca kelulusan? Pertama, mensosialisasikan dampak negatif tindakan tersebut kepada peserta didik. Langkah awal ini yang dilakukan adalah menanamkan pikiran pada peserta didik bahwa tindakan mencoret-coret, balapan liar, mengecat dinding sekolah, dan lainnya lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Dalam hal ini, agen sosialisasi adalah pihak sekolah dan orangtua. Diharapkan, peserta didik dapat menyadari bahwa perilaku mereka merugikan orang banyak.

Kedua, menyediakan media aspirasi bagi peserta didik. Hal ini bukan berarti kita merelakan dinding, jalan, dan baju untuk wahana corert-coret peserta didik. Pihak sekolah, dapat menyediakan papan bekas, spanduk polos atau media lain, yang dapat dipakai peserta didik untuk mencoret-coret seperti menyediakan produk polos dan lembaran kosong di Buku Tahunan (BT) sehingga peserta didik tidak mencoret-coret di baju sekolah mereka dan dinding-dinding namun hanya di spanduk dan buku saja.
Ketiga, memperketat peraturan sekolah. Barangkali peserta didik dapat berpikir, untuk apa lagi mematuhi aturan sekolah. Bukankah mereka sudah lulus? Tetapi mereka sebenarnya masih terikat dengan sekolah karena ijazah mereka masih di tangan pihak sekolah. Maka dari itu, sekolah dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat peraturan pasca kelulusan. Misalnya, dengan tidak membagikan ijazah mereka. Jika mencoret-coret baju sekolah atau dinding sekolah, balapan, atau lainnya.

Keempat, mengalihkan kegiatan setelah pengumuman. Dalam hal ini, sekolah dapat mengadakan kegiatan bersama setelah pengumuman, seperti berdoa di masjid bersama-sama bagi yang muslim dan berbagai kegiatan lainnya. Ketujuh, cara pengendalian melalui institusi dan noninstitusi. Cara pengendalian melalui institusi, yaitu cara pengendalian sosial melalui lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat, seperti lembaga pendidikan. Contohnya, seorang kepala sekolah melarang diadakannya pesta perpisahan yang berlebihan di luar sekolah. Cara pengendalian melalui noninstitusi adalah pengendalian di luar institusi sosial yang ada. Contohnya, seorang bapak membubarkan acara kebut-kebutan yang dilakukan oleh peserta didik (baca: para pelajar) pasca menerima hasil akhir kelulusan.

Kedelapan, cara pengendalian secara lisan, simbolik, dan kekerasan. Cara pengendalian secara lisan adalah pengendalian yang dilakukan dengan mengajak orang menaati aturan dengan menggunakan bahasa lisan (verbal). Contoh, ketua OSIS yang bersosialisasi mengenai bahayanya kebut-kebutan di jalan setelah menerima kelulusan. Cara pengendalian secara simbolik dapat dilakukan dengan tulisan, spanduk, dan lainnya. Contohnya, adanya spanduk yang bertuliskan “Simpan seragam putih abumu seperti menyimpan masa sekolahmu”. Cara pengendalian via kekerasan, yaitu pengendalian yang bersifat koersif. Cara ini menekankan pada tindakan atau ancaman yang menggunakan kekuatan fisik. Contohnya, polisi meringkus peserta didik (baca: para pelajar) yang keluyuran hingga larut malam setelah menerima hasil kelulusan.

Kesembilan, cara pengendalian melalui imbalan dan hukuman (reward and punishment). Cara pengendalian melalui imbalan cenderung bersifat preventif. Contoh, seorang anak diberikan makanan kesukaannya setelah pulang menerima hasil kelulusan dan tidak mengikuti teman-temannya untuk kebut-kebutan di jalan untuk merayakannya. Sedangkan, cara pengendalian melalui hukuman condong bersifat represif. Misalnya, seorang anak dihukum oleh seorang guru karena telah mempengaruhi kawan-kawannya untuk mencoret-coret seragam putih abu-abu.

Kesepuluh, cara pengendalian sosial formal dan informal. Menurut Paul Horton dan Chester Hunt (2011), pengendalian formal adalah pengendalian yang dilakukan oleh lembaga resmi yang memiliki aturan terikat. Contohnya, sekolah melarang pelajar (baca: peserta didik) kebut-kebutan di jalan raya setelah menerima kelulusan. Kesebelas, cara pengendalian sosial melalui sosialisasi. Dalam sosialisasi, peserta didik atau para pelajar dikendalikan agar tidak melakukan perilaku menyimpang setelah menerima hasil kelulusan. Keduabelas atau terakhir, adalah cara pengendalian melalui tekanan sosial. Pengendalian melalui tekanan sosial ini, maksudnya seorang peserta didik/ pelajar akan tertib setelah ia mendapatkan tekanan berupa ejekan atau olokan dari teman-temannya bahwa ia seorang yang suka melanggar peraturan dan bandel.

Pemaparan tersebut di atas, dilakukan oleh pihak sekolah. Lantas, bagaimanakah dengan peserta didik yang mengalami kelulusan? Untuk memulainya memang tak gampang karena sudah membudaya, setiap tahun dilakukan. Alangkah baiknya peserta didik melakukan hal-hal yang positif. Berikut ini tips atau cara untuk peserta didik agar tak terikut dengan pelampiasan negatif. Pertama, cobalah untuk mensyukuri kelulusan tersebut kepada Allah SWT karena-Nya lah para peserta didik dapat melaksanakan Ujian dengan baik. Tanpa Sang Kuasa, peserta didik belumlah apa-apa. Sebagai makhluk ciptaan-Nya, marilah mengadakan syukuran sebagai wujud syukur peserta didik kepada Allah SWT. Dengan pencerahan dan doa bersama, kelulusan akan lebih bermakna. Kedua, ubahlah paradigma atau pola pikir. Jangan ada dipikiran peserta didik bahwa sesuatu yang telah dilakukan tiap tahun mesti terus berlanjut. Seharusnya, mereka dapat memilih dan memilah, mana yang baik. Jika memang ada yang tidak baik, maka tinggalkanlah.

Ketiga, usah latah atau ikut-ikutan. Jikalau sekolah lain melakukan hal tersebut, bukan berarti peserta didik juga harus seperti mereka. Seperti yang telah disampaikan, peserta didik mesti bisa memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk. Keempat, buat acara pasca kelulusan. Hitung-hitung sedekah, peserta didik bisa buat acara kecil-kecilan, seperti traktiran, makan sama, belanja bareng, jalan-jalan, main ke pelbagai wahana, dan sebagainya. Selain tidak merugikan banyak pihak, pikiran peserta didik pun jadi lebih fresh setelah kejenuhan belajar untuk dapat meraih kelulusan. Kelima, berkumpul dengan keluarga dalam rangka merayakan kelulusan. Keenam, melakukan hal-hal yang bermanfaat, seperti ikut Bimbingan Belajar (Bimbel) supaya dapat masuk di universitas yang kita inginkan. Dengan begitu peserta didik sudah mempersiapkan secara matang pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi tes menuju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ketujuh, peserta didik dapat berbagi dengan yang lain. Banyak orang yang membutuhkan bantuan kita. Percayalah, apa pun yang kita berikan kepada orang yang lebih membutuhkan sesungguhnya dapat menjadi amal bagi kita, selagi barang atau benda yang kita berikan masih dapat dipakai dan bermanfaat. Jadi, bersedekahlah. Dengan menyedekahkan seragam sekolah atau buku-buku itu lebih baik daripada seragam itu dicoret-coret atau buku-buku yang dibuang atau disimpan, yang akhirnya menjadi santapan kecoa saja.

Kebiasaan Buruk Siswa Ujian Nasional (UN) SMA / Sederajat

 Hari-hari ini situs YouTube menjadikan sejumlah video pesta bikini anak SMA pasca ujian nasional (unas) di Jakarta dan sekitarnya sebagai headline (berita unggahan utama). Begitu situs itu diklik, langsung video-video pendek nan menghebohkan tersebut nongol di laman depan. Judulnya macam-macam. Di antaranya Pesta Bikini Anak SMA Pasca-UN, Heboh Pesta Bikini Kelulusan UN SMA, dan Video Pesta Bikini.

Headline YouTube di atas semakin melengkapi berita heboh tentang agenda dan praktik pesta bikini siswa SMA beberapa waktu terakhir. Tentu, bukannya menyenangkan, apalagi membanggakan, orang tua, pesta bikini itu membuat publik luas harus mengernyitkan dahi.

Lihatlah komentar waras yang muncul di bawah kotak video unggahan yang tayang di YouTube di atas. Rata-rata berisi keprihatinan. Salah satunya berbunyi Kayaknya ini bukan anak sekolah yang berhasil, saya turut prihatin. Yang lain menyatakan: Ini seperti penyakit yang bisa menular, maka harus cepat disembuhkan sebelum kita, adik, kakak, di Indonesia tertular.

Sejak awal rencana penyelenggaraan pesta bikini tersebut, sejumlah kehebohan dan kontroversi langsung muncul secara kuat. Pertama, kontroversi itu muncul karena di undangan pesta tersebut disertakan nama sejumlah SMA sebagai pendukung utama. Baik SMA negeri maupun swasta yang berbasis ormas keagamaan. Undangan itu disebarkan secara fisik maupun menggunakan instrumen media sosial.

Beberapa sekolah buru-buru sibuk menyangga keterlibatan dan dukungan mereka. Yang lain bahkan harus membuat konferensi pers untuk memperkuat ketidakterlibatan mereka. Meski begitu, video atau tayangan pendek menghebohkan di YouTube di atas menjelaskan bahwa pesta bikini itu terjadi walau dengan tingkat sembunyi-sembunyi yang tinggi.
 
Kedua, dari sisi ide maupun praktiknya, pesta bikini pascaunas tersebut tak lain adalah turunan langsung dari fenomena clubbing yang banyak menggejala di perkotaan. Di antaranya dengan mengambil bentuk pesta malam (night party) dan pesta kolam renang (pool party). Temanya juga begitu, mulai ladies night hingga bikini night.

Pada video pendek nan menghebohkan di YouTube di atas, sangat tampak jelas bagaimana anak-anak SMA itu melakukan pesta bikini di kolam renang. Mulai pakaian hingga jingkrak-jingkrak gerakan mereka tak ubahnya yang banyak menghiasi praktik clubbing di kelab-kelab malam.

Publik di negeri ini sangat perlu memberikan perhatian khusus terhadap mulai menggejalanya praktik heboh pada siswa SMA di atas. Sikap abai, apalagi pembiaran, hanya akan membuat kita ke depan kehilangan pilihan hidup yang baik, rasional, dan bermanfaat pada ruang publik. Ujungnya, penyesalan yang tidak bisa diputar balik akan menjadi ratapan bersama.

Kita patut belajar dari kasus pesta kelulusan anak SMA di Australia. Di Negeri Kanguru itu ada pesta kelulusan SMA yang bernama schoolies party. Pesta tersebut seakan sudah menjadi tradisi tahunan siswa SMA di seluruh penjuru Australia.

Di pesta itu biasanya mereka menyewa seluruh kamar hotel untuk digunakan secara eksklusif oleh siswa sebuah sekolah atau kumpulan sekolah SMA. Tidak boleh ada orang dewasa yang berada dan atau menyewa kamar hotel saat schoolies party tersebut berlangsung. Kepentingannya, tidak ada kasus sexual assault oleh orang dewasa, khususnya pedofilia.

Di hotel itu anak-anak SMA, laki-laki dan perempuan, menikmati kebebasan yang luar biasa tanpa kehadiran orang tua. Anything goes. Apa pun bisa terjadi. Begitulah prinsip yang berlaku pada schoolies party tersebut.

Orang tua di Australia mendapati situasi yang sulit saat anak-anak mereka lulus dari SMA. Di satu sisi, kelulusan SMA menjadi penanda bagi anak untuk segera memasuki dunia kerja atau studi lanjut di perguruan tinggi. Namun, di sisi lain, begitu kuatnya tradisi schoolies party di atas menghipnotis kesadaran anak-anak mereka hingga seakan tidak ada pilihan untuk menyambut kelulusan, kecuali turut serta dalam pesta itu.

Menunjuk pada prinsip anything goes dalam schoolies party di atas, keresahan tidak bisa disembunyikan para orang tua. Hingga ada di antara mereka yang harus merayu anaknya agar tidak sampai ikut schoolies party. Sebagai ganti, mereka menawari si anak berwisata ke luar negeri, seberapa pun jauh jarak dan mahalnya biaya perjalanan wisata itu. Asal anak mereka mau untuk tidak ikut di schoolies party, mereka siap membiayai perjalanan wisata semahal apa pun.

Tentu kita tidak layak menunggu keresahan akut akan mengimpit kita bersama, terutama orang tua, saat menghadapi kelulusan anak dari SMA. Karena itu, gejala pesta bikini yang menghebohkan di atas harus bisa mendorong kita bersama mengambil langkah preventif hingga kuratif yang strategis.
Para penyelenggara pendidikan persekolahan dan kepengasuhan di rumah oleh orang tua sangat perlu melakukan reorientasi terhadap pola pendidikan dan pengasuhan terhadap anak, terutama dalam usia sekolah jenjang SMA. Bentuknya adalah penguatan kesadaran bahwa lulus SMA merupakan babak hidup yang biasa, reguler, dan berlaku pada semuanya.

Hal itu penting agar kelulusan tidak membuat anak-anak kehilangan nilai, apalagi arah hidup pada usia remaja. Alih-alih manfaat yang lebih bersifat internal-personal maupun masalah yang bersifat interpersonal ke masyarakat luas bisa ditebar oleh kegiatan penyambutan kelulusan.

Dalam rangka menjaga nilai kemanfaatan dan kemaslahatan di atas, langkah strategis yang bersifat sistemik harus diambil. Kewenangannya ada di tangan pemerintah. Menurut hemat saya, kontrol dan pengawasan hingga berujung pelarangan atas praktik heboh seperti pesta bikini adalah opsi langkah strategis berjarak pendek. Namun, untuk lebih sistemik dan berjangka panjang, pemerintah perlu melahirkan kebijakan serta instrumentasinya demi penguatan nilai karakter pada proses kelulusan siswa.

Sebagai contoh, pemerintah Kanada menerapkan kebijakan penguatan volunteerism dan karitas untuk proses kelulusan anak SMA. Di Negara Bagian Ontario dan British Columbia, Kanada, sebagai misal, sekolah-sekolah menerapkan kebijakan bahwa siswa level SMA wajib melakukan pengabdian kepada masyarakat (community services) selama 40 jam. Kewajiban itu harus ditunaikan sebelum masa kelulusan dan bisa dicicil selama masa studi.

Pemerintah kita layak melakukan ikhtiar sistemik seperti pemerintah Kanada di atas. Kepentingannya adalah menjamin pengembangan karakter bangsa melalui proses pendidikan yang dijalankan. Jangan sampai momentum kelulusan menjadi antitesis dari rangkaian pengembangan nilai dan karakter luhur sebelumnya oleh guru serta orang tua. (*)

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2016. Teknik Presentasi.
Design by Herdiansyah Hamzah. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License