- Nama:
Musyripun (3101 1102 1947) - Judul:
Tradisi Buruk Kelulusan SMA Sederajat
Tradisi Buruk Kelulusan SMA Sederajat
LULUS adalah sebuah kata yang bermakna besar dan sangat berarti bagi semua
peserta didik di negeri ini karena dianggap sebagai momen yang dinanti-nantikan
sekaligus mengelisahkan dan menegangkan. Alangkah bahagia yang luar biasa atau
tiada taranya untuk meluapkan rasa apresiasi itu bagi seorang peserta didik
tatkala memeroleh kata-kata “lulus” di ujung namanya saat berita kelulusan itu
dikeluarkan atau diumumkan oleh pihak sekolah mereka.
Kelulusan itu dapat dikatakan
sebagai nikmat dan keberuntungan bagi peserta didik setelah menempuh Ujian
Nasional (UN) dari akhir sebuah perjuangan panjang. Sesuai bunyi hadist
Alquran, “Man Jadda Wa Jadda” artinya barangsiapa yang
bersungguh-sungguh, maka ia akan dapat balasan yang setimpal yaitu kesuksesan.
Selanjutnya, pemerolehan kesuksesan atau kelulusan tersebut merupakan hasil
jerih payah atau kegigihan yang sudah dilakukan secara maksimal, baik selama
enam tahun di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) maupun tiga tahun di
jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Kejuruan dan Madrasah Aliyah.
Sebenarnya, kini UN bukan lagi satu-satunya untuk mengambil keputusan kelulusan
tetapi kelulusan dapat ditentukan dari gabungan nilai UN dan UAS pada rapor
mulai semester pertama hingga akhir di sekolah masing-masing. Jadi, maksud dari
semuanya itu bahwa UN sangat menentukan atau berpengaruh bagi seorang peserta
didik untuk menentukan ia berhak lanjut atau tidak ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi lagi.
Menjelang pengumuman kelulusan
sekolah itu, suasana menjadi tegang, membuat peserta didik nervous.
Hal tersebut dikarenakan begitu banyak bayangan para peserta didik jika mereka
tidak lulus. Tentunya akan merasa stock dan berpikir bahwa masa depannya akan
hancur sehingga cita-cita mereka tidak akan tercapai. Sudah pasti akan
mengecewakan kedua orangtua mereka yang selama ini mengharapkan supaya anaknya
sukses dalam mengenyam pendidikan.
Begitu banyak respon setiap peserta
didik saat melihat nomornya. Tentunya bagi yang lulus, pasti sangat senang dan
mersa lega karena terlepas dari bayangan buruk terhadap dirinya. Namun, bagi
peserta didik yang melihat bahwa dirinya tidak lulus , tentunya merasa shock.
Bahkan, ada yang jatuh pingsan, menangis histeris karena tidak sanggup menerima
keadaan maka akan merasa depresi. Memang banyak dampak yang diakibatkan
lantaran kelulusan itu. Bagi peserta didik yang dinyatakan lulus tentunya
mereka merayakannya dengan berbagai macam cara. Namun, pada umumnya banyak di
antara mereka yang melakukannya dengan cara perilaku yang menyimpang.
Memang sudah menjadi rahasia umum
bahwa fenomena kelulusan itu, disambut dengan berbagai hal ekspresi, baik
ekspresi positif ataupun negatif. Akan tetapi, kelulusan di seantero Indonesia
lebih banyak dirayakan dengan hal-hal yang bernuansa negatif atau menyimpang.
Dari pihak sekolah, pada umumnya, tak bisa berkutik banyak menanggulangi
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didiknya. Makanya, perilaku
menyimpang tersebut semakin merajalela di kehidupan kini. Contoh dari adanya
perubahan globalisasi bagi generasi muda, yakni budaya konvoi dan
coret-mencoret seragam.
Menurut Robert M. Z Lawang (2011),
perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang
berlaku dalam suatu sistem sosial. Sedangkan, istilah “pasca” berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesudah/ bakda. Dari definisi itu, kita
dapat postulatkan bahwa menyikapi budaya menyimpang pelajar (baca: peserta
didik) sesudah kelulusan bermakna bahwa menindaklanjuti ataupun mengambil
tindakan pembenaran atas perilaku tersebut yang tidak sesuai lagi dengan nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat setelah menerima hasil akhir kelulusan.
Budaya menyimpang pelajar (baca:
peserta didik) pasca kelulusan merupakan suatu kebiasaan penyimpangan yang
bersifat negatif, yaitu pelaku bertindak mengikuti nilai-nilai sosial yang
dianggap rendah dan berakibat buruk serta menganggu kenyamanan sosial.
Biasanya, pelaku akan ditegur, baik secara langsung maupun tak langsung oleh
masyarakat. Tindakan yang kerapkali kita temui sebagai hasil dari kebudayaan
menyimpang pelajar (baca: peserta didik) pasca kelulusan, seperti
mencoret-coret seragam sekolah dan berkonvoi. Aktivitas itu malah mengundang
banyak kontroversi dari berbagai kalangan.
Ujian Nasional (UN) memang baru
saja berakhir. Tiga menegangkan tersebut merupakan titik puncak, di mana hal-hal
yang telah diperjuangkan oleh generasi penerus kemerdekaan bangsa selama tiga
tahun diuji oleh secarik kertas yang berpaparkan persoalan-persoalan yang cukup
rumit. Rumit bagi mereka yang mungkin sudah tertutup pintu hatinya untuk
membuka cakrawala mereka. Barangkali mereka tak menyadari bahwasanya masa depan
yang panjang masih menunggu. Bukan pendidikan yang utama, namun kepuasan jiwa
masing-masing yang membuat mereka terlena.
Namun bagaimana pun, setiap mereka
pasti melewati titik ini. Tak sedikit juga yang benar-benar, yang
sungguh-sungguh untuk menggapai kunci untuk membuka pintu-pintu yang masih
tertutup di depan mereka. Semua sebenarnya bergantung apa yang mereka tanamkan
di hati dan pikiran mereka. Apabila yang mereka hadapi adalah hal yang harus diselesaikan
sebagai sebuah tantangan, maka aura positif akan membakar semangat mereka.
Tetapi, apabila mereka berpikir, mereka tak sanggup untuk melewatinya maka
mereka akan menghindar.
Ironis, ketidaksungguhan itu
menjerumuskan mereka pada hal yang negatif. Bukannya membuka lembaran-lembaran
soal ataupun mengulas kembali materi yang akan diujukan. Namun, secarik kertas
kecil yang membantu mereka melewati persoalan-persoalan itu. Itulah salah satu
bukti nyata bahwa moral dan perilaku negatif telah tertanam di diri anak-anak
muda sekarang. Walaupun tak jarang yang sukses karena menyungguhi apa yang
dijalani, namun ironi tetaplah ironi.
Kita sudah mengetahui sendiri apa
yang dilakukan oleh peserta didik atau para pelajar di zaman kini tatkala
menghadapi ujian. Ini menunjukkan bahwa semangat belajat di kalangan muda belum
tersebar secara menglobal. Tak hanya saat seperti ketika sesaat setelah
kelulusan. Mereka meluapkan kegembiraan dengan ugal-ugalan atau konvoi tak
tentu arah di jalan raya.
Seperti yang kita ketahui, banyak
hal yang dapat meluapkan kegembiraan seseorang. Apalagi di kalangan anak muda,
di mana sesosok sedang mencari jati dirinya. Pasti sangat banyak hal-hal
irasional yang dilakukannya. Bukan apa-apa, seperti yang telah kita bahas
sebelumnya, kepuasaan jiwa masing-masing yang membuat mereka terlena.
Hal yang sudah akrab di mata dan
ingatan kita bahwa cat pilox dan anak-anak remaja, khususnya para pelajar atau
peserta didik sudah seperti memiliki ikatan. Entah apa maksudnya, sebuah kertas
berlabel lulus dari dinas pendidikan menarik jari-jari mereka untuk
menyemprotkan cat pilox pada kain yang telah mereka gunakan selama tiga tahun,
yang memberi mereka identitas sebagai pelajar yang akan meneruskan kemerdekaan
bangsa ini.
Coretan kelulusan, mungkin itu
salah satu bentuk apresiasi mereka terhadap keberhasilan melewati kertas-kertas
yang menguji mereka salah jari untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Namun, ini merupakan satu dari contoh negatif para pelajar kita pasca
kelulusan. Foya-foya ini sebenarnya bukanlah hal yang mempunyai hal positif
sedikitpun. Tak ada hal yang dapat dipelajari darinya.
Bukan hanya pilox yang terbuang
percuma, goresan-goresan ban di aspal jalan juga menjadi saksi bisu dan
sisa-sisa pesta pora mereka di jalan raya. Lagi-lagi hal negatif. Mereka tak
akan tahu sampai kapan sepeda motor yang mereka kendarai dapat menyelamatkan
diri mereka. Siapa tahu di tengah jalan, ketika mereka tengah mengendarai
sepeda motor mereka dengan kecepatan tinggi, sepeda motor yang mereka kendarai
lepas kendali dan menyebabkan kecelakaan.
Budaya konvoi atau ugal-ugalan
merupakan kebiasaan yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di setiap
sekolah. Konvoi menjadi ajang pamer kegembiraan ketika peserta didik telah tahu
dirinya lulus. Ajang pamer ini, berlangsung di jalan raya yang penuh sesak.
Biasanya, peserta didik atau pelajar melakukannya dengan berjalan atau
berkendara berombongan berkeliling di penjuru kota menyusuri jalan-jalan.
Kebiasaan konvoi ini terkadang sambil mencoret baju mereka bahkan menyemprot
rambut dan jilbab mereka juga menggunakan spidol dan piloks. Mereka tak
menyadari bahwa dibalik konvoi tersebut mengintai kecelakaan lalu lintas.
Inilah yang disayangkan andai kegembiraan beralih menjadi kesedihan. Selain
itu, mengakibatkan kerugian orang lain yaitu membuat macet lalu lintas bahkan
memancing bentrok antarpengguna jalan. Jika ini terjadi, maka tak terelakkan
lagi timbul perkelahian, yang bisa dikatakan sebagai anarkisme atau premanisme
jalanan. Jadi, konvoi itu apa sih manfaatnya? Ternyata, jawabannya tidak ada
gunanya semua itu. Di sinilah betapa pentingnya memberikan nasihat tentang
keselamatan dan masa depan kepada mereka.
Mencoret seragam sekolah dijadikan
oleh para pelajar atau peserta didik sebagai media meluapkan seluruh emosi dan
mengutamakan rasa kesenangan semata atas apa yang telah mereka usahakan selama
mengikuti proses belajar. Namun, tren mencoret seragam adalah perilaku
menyimpang yang merugikan akibat tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Sebagai
peserta didik atau pelajar yang berpendidikan, seharusnya mencoret seragam
tidak perlu diadakan. Oleh karena tidak adanya arahan dan sanksi untuk pelajar/
peserta didik yang melakukan hal ini adalah salah satu alasan mengapa mencoret
seragam seusai kelulusan sekolah masih terus terjadi. Memang tidak mudah
menerapkannya, di samping usia remaja adalah usia labil dan suka melakukan
hal-hal baru. Maka harus ada upaya-upaya yang serius dan menjalin kerjasama
antarsekolah agar perilaku menyimpang ini tidak terulang lagi. Padahal bekas
baju seragam itu, lebih baik disumbangkan. Daripada dicoret-coret lebih bagus
sekolah tersebut disimpan untuk adiknya nanti atau disumbangkan ke panti
asuhan. Itu lebih baik.
Jika kita dapat berkaca dari setiap
kejadian yang sudah berlalu, kita dapat mengubah kebiasaan buruk yang telah
menjadi tradisi di negeri ini. Tidakkah hal tersebut membawa hal imej buruk
bagi generasi mendatang? Bahkan beberapa waktu yang lampau, perayaan pasca
kelulusan yang berlebihan (over) dilakukan oleh para pelajar atau peserta didik
di Ibu kota negara, yaitu pool party yang membuat beberapa pihak geger akan hal
tersebut dan pemerintah kalangkabut dibuatnya untuk mengatasi masalah itu. Jika
kita berkaca dari pengalaman tersebut, pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki
andil mesti menunjukkan sikap dan tindakannya secepat mungkin. Lalu,
prolematika ini harus diminimalisir agar tidak terjadi berulang ke depannya.
Namun, semua itu tidak hanya
kesalahan yang dilimpahkan kepada peserta didik saja. Orangtua, pemerintah,
guru, dan aparat keamanan juga seharusnya berpartisipasi untuk membina
insan-insan masa depan bangsa kita tersebut.
Orangtua. Perannya amat penting
dalam memantau gerak-gerik anak-anak mereka di rumah maupun di luar rumah.
Tampak kini hubungan itu, antara anak dengan orangtua, terasa kaku dan renggang
lantaran kesibukan masing-masing orangtua mereka. Akibatnya, orangtua tidak
dapat memahami dengan baik bagaimana perasaan seorang anak yang
jarang-jarangnya mendapat perhatian orangtuanya.
Selanjutnya, pemerintah, semestinya
lebih tegas dalam menyikapi hal ini. Jikalau tak diperhatikan maka peserta
didik tersebut akan terus berlanjut kelakuan nakalnya. Untuk itu, pemerintah
harus membuat kebijakan-kebijakan yang tegas, seperti tidak boleh ugal-ugalan,
coret-coretan seragam sekolah, dan kriminalitas pasca kelulusan.
Kemudian adalah guru. Guru dianggap
sebagai orangtua peserta didik di sekolah. Seyogyanya, guru juga ikut serta
dalam membina peserta didik dalam mengarahkan, memotivasi, dan menjadi
suriteladan. Terakhir yaitu aparat keamanan, polisi. Mereka ini tidak kalah
pentingnya dalam hal ini, untuk turut andil untuk lebih giat lagi dalam membina
para peserta didik. Misalnya, melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah dalam
memberikan sosialisasi tata tertib di jalan raya.
Lantas, bagaimanakah strategi atau
solusi yang ditempuh untuk mengatasi atau menyikapi pelampiasan tindakan
negatif atau menyimpang yang dilakukan oleh peserta didik pasca kelulusan?
Pertama, mensosialisasikan dampak negatif tindakan tersebut kepada peserta
didik. Langkah awal ini yang dilakukan adalah menanamkan pikiran pada peserta
didik bahwa tindakan mencoret-coret, balapan liar, mengecat dinding sekolah,
dan lainnya lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Dalam hal ini, agen
sosialisasi adalah pihak sekolah dan orangtua. Diharapkan, peserta didik dapat
menyadari bahwa perilaku mereka merugikan orang banyak.
Kedua, menyediakan media aspirasi
bagi peserta didik. Hal ini bukan berarti kita merelakan dinding, jalan, dan
baju untuk wahana corert-coret peserta didik. Pihak sekolah, dapat menyediakan
papan bekas, spanduk polos atau media lain, yang dapat dipakai peserta didik
untuk mencoret-coret seperti menyediakan produk polos dan lembaran kosong di
Buku Tahunan (BT) sehingga peserta didik tidak mencoret-coret di baju sekolah
mereka dan dinding-dinding namun hanya di spanduk dan buku saja.
Ketiga, memperketat peraturan
sekolah. Barangkali peserta didik dapat berpikir, untuk apa lagi mematuhi
aturan sekolah. Bukankah mereka sudah lulus? Tetapi mereka sebenarnya masih
terikat dengan sekolah karena ijazah mereka masih di tangan pihak sekolah. Maka
dari itu, sekolah dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat peraturan
pasca kelulusan. Misalnya, dengan tidak membagikan ijazah mereka. Jika
mencoret-coret baju sekolah atau dinding sekolah, balapan, atau lainnya.
Keempat, mengalihkan kegiatan
setelah pengumuman. Dalam hal ini, sekolah dapat mengadakan kegiatan bersama
setelah pengumuman, seperti berdoa di masjid bersama-sama bagi yang muslim dan
berbagai kegiatan lainnya. Ketujuh, cara pengendalian melalui institusi dan
noninstitusi. Cara pengendalian melalui institusi, yaitu cara pengendalian
sosial melalui lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat, seperti lembaga
pendidikan. Contohnya, seorang kepala sekolah melarang diadakannya pesta
perpisahan yang berlebihan di luar sekolah. Cara pengendalian melalui
noninstitusi adalah pengendalian di luar institusi sosial yang ada. Contohnya,
seorang bapak membubarkan acara kebut-kebutan yang dilakukan oleh peserta didik
(baca: para pelajar) pasca menerima hasil akhir kelulusan.
Kedelapan, cara pengendalian secara
lisan, simbolik, dan kekerasan. Cara pengendalian secara lisan adalah
pengendalian yang dilakukan dengan mengajak orang menaati aturan dengan
menggunakan bahasa lisan (verbal). Contoh, ketua OSIS yang bersosialisasi
mengenai bahayanya kebut-kebutan di jalan setelah menerima kelulusan. Cara
pengendalian secara simbolik dapat dilakukan dengan tulisan, spanduk, dan
lainnya. Contohnya, adanya spanduk yang bertuliskan “Simpan seragam putih abumu
seperti menyimpan masa sekolahmu”. Cara pengendalian via kekerasan, yaitu
pengendalian yang bersifat koersif. Cara ini menekankan pada tindakan atau
ancaman yang menggunakan kekuatan fisik. Contohnya, polisi meringkus peserta
didik (baca: para pelajar) yang keluyuran hingga larut malam setelah menerima
hasil kelulusan.
Kesembilan, cara pengendalian
melalui imbalan dan hukuman (reward and punishment). Cara pengendalian melalui
imbalan cenderung bersifat preventif. Contoh, seorang anak diberikan makanan
kesukaannya setelah pulang menerima hasil kelulusan dan tidak mengikuti
teman-temannya untuk kebut-kebutan di jalan untuk merayakannya. Sedangkan, cara
pengendalian melalui hukuman condong bersifat represif. Misalnya, seorang anak
dihukum oleh seorang guru karena telah mempengaruhi kawan-kawannya untuk
mencoret-coret seragam putih abu-abu.
Kesepuluh, cara pengendalian sosial
formal dan informal. Menurut Paul Horton dan Chester Hunt (2011), pengendalian
formal adalah pengendalian yang dilakukan oleh lembaga resmi yang memiliki
aturan terikat. Contohnya, sekolah melarang pelajar (baca: peserta didik)
kebut-kebutan di jalan raya setelah menerima kelulusan. Kesebelas, cara
pengendalian sosial melalui sosialisasi. Dalam sosialisasi, peserta didik atau
para pelajar dikendalikan agar tidak melakukan perilaku menyimpang setelah
menerima hasil kelulusan. Keduabelas atau terakhir, adalah cara pengendalian
melalui tekanan sosial. Pengendalian melalui tekanan sosial ini, maksudnya
seorang peserta didik/ pelajar akan tertib setelah ia mendapatkan tekanan
berupa ejekan atau olokan dari teman-temannya bahwa ia seorang yang suka
melanggar peraturan dan bandel.
Pemaparan tersebut di atas,
dilakukan oleh pihak sekolah. Lantas, bagaimanakah dengan peserta didik yang
mengalami kelulusan? Untuk memulainya memang tak gampang karena sudah
membudaya, setiap tahun dilakukan. Alangkah baiknya peserta didik melakukan
hal-hal yang positif. Berikut ini tips atau cara untuk peserta didik agar tak
terikut dengan pelampiasan negatif. Pertama, cobalah untuk mensyukuri kelulusan
tersebut kepada Allah SWT karena-Nya lah para peserta didik dapat melaksanakan
Ujian dengan baik. Tanpa Sang Kuasa, peserta didik belumlah apa-apa. Sebagai
makhluk ciptaan-Nya, marilah mengadakan syukuran sebagai wujud syukur peserta
didik kepada Allah SWT. Dengan pencerahan dan doa bersama, kelulusan akan lebih
bermakna. Kedua, ubahlah paradigma atau pola pikir. Jangan ada dipikiran
peserta didik bahwa sesuatu yang telah dilakukan tiap tahun mesti terus
berlanjut. Seharusnya, mereka dapat memilih dan memilah, mana yang baik. Jika
memang ada yang tidak baik, maka tinggalkanlah.
Ketiga,
usah latah atau ikut-ikutan. Jikalau sekolah lain melakukan hal
tersebut, bukan berarti peserta didik juga harus seperti mereka. Seperti
yang telah disampaikan, peserta didik mesti bisa memilih yang baik dan
meninggalkan yang buruk. Keempat, buat acara pasca kelulusan.
Hitung-hitung sedekah, peserta didik bisa buat acara kecil-kecilan,
seperti traktiran, makan sama, belanja bareng, jalan-jalan, main ke
pelbagai wahana, dan sebagainya. Selain tidak merugikan banyak pihak,
pikiran peserta didik pun jadi lebih fresh setelah kejenuhan belajar
untuk dapat meraih kelulusan. Kelima, berkumpul dengan keluarga dalam
rangka merayakan kelulusan. Keenam, melakukan hal-hal yang bermanfaat,
seperti ikut Bimbingan Belajar (Bimbel) supaya dapat masuk di
universitas yang kita inginkan. Dengan begitu peserta didik sudah
mempersiapkan secara matang pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi
tes menuju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ketujuh,
peserta didik dapat berbagi dengan yang lain. Banyak orang yang
membutuhkan bantuan kita. Percayalah, apa pun yang kita berikan kepada
orang yang lebih membutuhkan sesungguhnya dapat menjadi amal bagi kita,
selagi barang atau benda yang kita berikan masih dapat dipakai dan
bermanfaat. Jadi, bersedekahlah. Dengan menyedekahkan seragam sekolah
atau buku-buku itu lebih baik daripada seragam itu dicoret-coret atau
buku-buku yang dibuang atau disimpan, yang akhirnya menjadi santapan
kecoa saja.
Kebiasaan Buruk Siswa Ujian Nasional (UN) SMA / Sederajat
Hari-hari ini situs
YouTube menjadikan sejumlah video pesta bikini anak SMA pasca ujian nasional
(unas) di Jakarta dan sekitarnya sebagai headline (berita unggahan utama).
Begitu situs itu diklik, langsung video-video pendek nan menghebohkan tersebut
nongol di laman depan. Judulnya macam-macam. Di antaranya
Pesta Bikini Anak SMA Pasca-UN, Heboh Pesta Bikini Kelulusan UN SMA, dan Video
Pesta Bikini.
Headline
YouTube di atas semakin melengkapi berita heboh tentang agenda dan praktik
pesta bikini siswa SMA beberapa waktu terakhir. Tentu, bukannya menyenangkan,
apalagi membanggakan, orang tua, pesta bikini itu membuat publik luas harus
mengernyitkan dahi.
Lihatlah
komentar waras yang muncul di bawah kotak video unggahan yang tayang di YouTube
di atas. Rata-rata berisi keprihatinan. Salah satunya berbunyi Kayaknya ini
bukan anak sekolah yang berhasil, saya turut prihatin. Yang lain menyatakan:
Ini seperti penyakit yang bisa menular, maka harus cepat disembuhkan sebelum
kita, adik, kakak, di Indonesia tertular.
Sejak awal
rencana penyelenggaraan pesta bikini tersebut, sejumlah kehebohan dan
kontroversi langsung muncul secara kuat. Pertama, kontroversi itu muncul karena
di undangan pesta tersebut disertakan nama sejumlah SMA sebagai pendukung
utama. Baik SMA negeri maupun swasta yang berbasis ormas keagamaan. Undangan
itu disebarkan secara fisik maupun menggunakan instrumen media sosial.
Beberapa
sekolah buru-buru sibuk menyangga keterlibatan dan dukungan mereka. Yang lain
bahkan harus membuat konferensi pers untuk memperkuat ketidakterlibatan mereka.
Meski begitu, video atau tayangan pendek menghebohkan di YouTube di atas
menjelaskan bahwa pesta bikini itu terjadi walau dengan tingkat
sembunyi-sembunyi yang tinggi.
Kedua, dari
sisi ide maupun praktiknya, pesta bikini pascaunas tersebut tak lain adalah
turunan langsung dari fenomena clubbing yang banyak menggejala di perkotaan. Di
antaranya dengan mengambil bentuk pesta malam (night party) dan pesta kolam
renang (pool party). Temanya juga begitu, mulai ladies night hingga bikini
night.
Pada video
pendek nan menghebohkan di YouTube di atas, sangat tampak jelas bagaimana
anak-anak SMA itu melakukan pesta bikini di kolam renang. Mulai pakaian hingga
jingkrak-jingkrak gerakan mereka tak ubahnya yang banyak menghiasi praktik
clubbing di kelab-kelab malam.
Publik di
negeri ini sangat perlu memberikan perhatian khusus terhadap mulai
menggejalanya praktik heboh pada siswa SMA di atas. Sikap abai, apalagi
pembiaran, hanya akan membuat kita ke depan kehilangan pilihan hidup yang baik,
rasional, dan bermanfaat pada ruang publik. Ujungnya, penyesalan yang tidak
bisa diputar balik akan menjadi ratapan bersama.
Kita patut
belajar dari kasus pesta kelulusan anak SMA di Australia. Di Negeri Kanguru itu
ada pesta kelulusan SMA yang bernama schoolies party. Pesta tersebut seakan
sudah menjadi tradisi tahunan siswa SMA di seluruh penjuru Australia.
Di pesta itu
biasanya mereka menyewa seluruh kamar hotel untuk digunakan secara eksklusif
oleh siswa sebuah sekolah atau kumpulan sekolah SMA. Tidak boleh ada orang
dewasa yang berada dan atau menyewa kamar hotel saat schoolies party tersebut
berlangsung. Kepentingannya, tidak ada kasus sexual assault oleh orang dewasa,
khususnya pedofilia.
Di hotel itu
anak-anak SMA, laki-laki dan perempuan, menikmati kebebasan yang luar biasa
tanpa kehadiran orang tua. Anything goes. Apa pun bisa terjadi. Begitulah
prinsip yang berlaku pada schoolies party tersebut.
Orang tua di
Australia mendapati situasi yang sulit saat anak-anak mereka lulus dari SMA. Di
satu sisi, kelulusan SMA menjadi penanda bagi anak untuk segera memasuki dunia
kerja atau studi lanjut di perguruan tinggi. Namun, di sisi lain, begitu
kuatnya tradisi schoolies party di atas menghipnotis kesadaran anak-anak mereka
hingga seakan tidak ada pilihan untuk menyambut kelulusan, kecuali turut serta
dalam pesta itu.
Menunjuk
pada prinsip anything goes dalam schoolies party di atas, keresahan tidak bisa
disembunyikan para orang tua. Hingga ada di antara mereka yang harus merayu
anaknya agar tidak sampai ikut schoolies party. Sebagai ganti, mereka menawari
si anak berwisata ke luar negeri, seberapa pun jauh jarak dan mahalnya biaya
perjalanan wisata itu. Asal anak mereka mau untuk tidak ikut di schoolies
party, mereka siap membiayai perjalanan wisata semahal apa pun.
Tentu kita
tidak layak menunggu keresahan akut akan mengimpit kita bersama, terutama orang
tua, saat menghadapi kelulusan anak dari SMA. Karena itu, gejala pesta bikini
yang menghebohkan di atas harus bisa mendorong kita bersama mengambil langkah
preventif hingga kuratif yang strategis.
Para
penyelenggara pendidikan persekolahan dan kepengasuhan di rumah oleh orang tua
sangat perlu melakukan reorientasi terhadap pola pendidikan dan pengasuhan
terhadap anak, terutama dalam usia sekolah jenjang SMA. Bentuknya adalah
penguatan kesadaran bahwa lulus SMA merupakan babak hidup yang biasa, reguler,
dan berlaku pada semuanya.
Hal itu
penting agar kelulusan tidak membuat anak-anak kehilangan nilai, apalagi arah
hidup pada usia remaja. Alih-alih manfaat yang lebih bersifat internal-personal
maupun masalah yang bersifat interpersonal ke masyarakat luas bisa ditebar oleh
kegiatan penyambutan kelulusan.
Dalam rangka
menjaga nilai kemanfaatan dan kemaslahatan di atas, langkah strategis yang
bersifat sistemik harus diambil. Kewenangannya ada di tangan pemerintah.
Menurut hemat saya, kontrol dan pengawasan hingga berujung pelarangan atas
praktik heboh seperti pesta bikini adalah opsi langkah strategis berjarak
pendek. Namun, untuk lebih sistemik dan berjangka panjang, pemerintah perlu
melahirkan kebijakan serta instrumentasinya demi penguatan nilai karakter pada
proses kelulusan siswa.
Sebagai
contoh, pemerintah Kanada menerapkan kebijakan penguatan volunteerism dan
karitas untuk proses kelulusan anak SMA. Di Negara Bagian Ontario dan British
Columbia, Kanada, sebagai misal, sekolah-sekolah menerapkan kebijakan bahwa
siswa level SMA wajib melakukan pengabdian kepada masyarakat (community
services) selama 40 jam. Kewajiban itu harus ditunaikan sebelum masa kelulusan
dan bisa dicicil selama masa studi.
Pemerintah kita layak melakukan ikhtiar sistemik
seperti pemerintah Kanada di atas. Kepentingannya adalah menjamin pengembangan
karakter bangsa melalui proses pendidikan yang dijalankan. Jangan sampai
momentum kelulusan menjadi antitesis dari rangkaian pengembangan nilai dan
karakter luhur sebelumnya oleh guru serta orang tua. (*)
No comments:
Post a Comment